A.
Pengertian Tarekat
1.
Secara bahasa:
Tarekat berasal dari bahasa Arab adalah “ طريقـة /thariqah ”, jamaknya ئيق طرا /tharaiq,
yang berarti:
a.
Jalan atau petunjuk jalan atau cara
(al-kaifiyyah),
b.
Metode, system (al-uslub),
c.
Mazhab, aliran, haluan (al-mazhab),
d.
Keadaan (al-halah),
e.
Tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud
al-mizalah).
2.
Secara Istilah :
a.
Menurut Ensiklopedi Islam
tarekat berarti ; “perjalanan seorang saleh (pengikut tarekat) menuju Tuhan
dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang
untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan” (Ensiklopedi
Islam, Cetakan keempat, Jild 5, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ( Jakarta
: PT Ichtiar baru van hoeve, 1997), 66)
b.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali
bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah “metode khusus yang dipakai
oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui
tahapan-tahapan/maqamat”.
Dengan demikian tarekat memiliki dua
pengertian,
Pertama ia
berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan
kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan.
Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi
(sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah,
ribath, atau khanaqah (sufinews.com).
c.
Abu Bakar Aceh ; “Sebuah
tarekat biasanya terdiri dari penyucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara
keagamaan, dan kesadaran sosial. Penyucian batin melalui latihan rohani dengan
hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek, mengisi sifat terpuji, taat atas
perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah
introspeksi terhadap semua amal pribadi. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri
dari syaih tarekat, syaikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat,
murid dan pengikut tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab,
system dan metode zikir. Upacara keagamaan bisa berupa baiat, ijarah atau
khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang
diberikan dan dialihkan seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya”
d.
KH. Habib Luthfiy Ali bin
Yahya (Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An Nahdliyah) kepada NU
Online di sela-sela Muktamar X badan otonom NU di Pekalongan, Selasa
(29/3/2009). Secara harfiah Tarekat berarti : Jalan
atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf ,
bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme,
adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan
lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf
dikenal dengan istilah tarekat,” .
B.
Tarekat Mu’tabarah
1.
Pengertian
Menurut Sri Mulyati (2004:9), salah satu tolok
ukur yang sangat penting bagi sebuah tarekat muktabarah (dianggap sah) atau
tidaknya. adalah unsur silsilah.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu
dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi,
semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad (silsilah)-nya muttashil (bersambung)
sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada
Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk menentukan
ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam semua
Thoriqoh Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya (Ro’is A’am Jam’iyyah
Ahli Thariqah Al-Mu’Tabarah An Nahdliyah)
Secara harfiah Tarekat berarti : Jalan atau cara untuk mencapai
tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam tasawuf, jumlah tarekat sangat banyak,
tetapi kaum sufi mengelompokkan tarekat menjadi dua jenis, yaitu
a.
Tarekat mu’tabar (thariqah yang mutashil
(tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW), dan
b.
Tarekat ghairu mu’tabar (thoriqoh yang
munfashil (tidak tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad.
Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus
yang diletakkan para sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf
sesuai dengan khittah ahlissunnah waljamaah. Dalam
hal ini, NU membina keselarasan tasawuf Al-Ghazali dengan tauhid Asy’ariyyah
dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai dengan salah satu dari empat mazhab
sunni (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali).
Dalam kerangka inilah, Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk, yaitu untuk memberikan sebuah
rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang mu’tabar dan ghairu
mu’tabar.
2.
Sejarah berdiri dan Perkembangan TM
a. Sejarah Tarekat di dunia Islam
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya
bersamaan dengan kelahiran agama Islam, yaitu ketika nabi Muhammad SAW diutus
menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi nabi Muhammad SAW
sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali bertakhannus atau berkhalwat
di gua Hira. Disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat Mekkah yang
sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Takhannus dan khlalwat Nabi adalah
untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika
dunia yang kompleks. Proses khalwat yang dilakukan nabi tersebut dikenal dengan
tarekat. Hal ini ikut di pelajari oleh pengikut beliau, sampai akhirnya kepada
Syaikh Abd Qadir Djailani, yang dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah.
Tarekat sebagai sebuah jalan, dalam dunia tasawuf, banyak
muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, yaitu ketika tasawuf menempati posisi
penting dalam kehidupan umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi
semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid, zikir,
tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi.
b.
Sejarah Perkembangan Tarekat Di Indonesia
Indonesia yang terletak di antara dua benua dan
dua samudra, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat.
Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang
diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinyam, maka lahirlah dalam bentuk baru yang khas
Indonesia. Misalnya : Lahirnya tarekat
Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib
As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati
bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan
bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah
keberadaan dan dapat dijadikan symbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya
mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati
rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui
kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang
sejalan dengan tuntutan nuraninya.
Tarekat sebagai sebuah jalan, dalam dunia tasawuf, banyak
muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, yaitu ketika tasawuf menempati posisi
penting dalam kehidupan umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat menjadi
semacam organisasi yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada wirid, zikir,
tetapi pada masalah-masalah yang bersifat duniawi.
Dalam tasawuf, jumlah tarekat sangat banyak, tetapi kaum
sufi mengelompokkan tarekat menjadi dua jenis, yaitu tarekat mu’tabar (thariqah
yang mutashil (tersambung) sanadnya kepada Nabi Muhammad SAW), dan tarekat
ghairu Mu’tabar (thoriqoh yang munfashil (tidak tersambung) sanadnya kepada
Nabi Muhammad.
c.
Sejarah Berdirinya Organisasi Tarekat
Mu’tabarah di Indonesia
Untuk menghindari penyimpangan sufisme dari garis lurus
yang diletakkan para sufi terdahulu, maka NU meletakkan dasar-dasar tasawuf
sesuai dengan khittah ahlissunnah
waljamaah. Dalam hal ini, NU membina keselarasan tasawuf
Al-Ghazali dengan tauhid Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, serta hukum fikih sesuai
dengan salah satu dari empat mazhab sunni.
Dalam kerangka inilah, Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk, yaitu untuk memberikan sebuah
rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang mu’tabar dan ghairu
mu’tabar.
Dari segi organisasi, Jatman secara de facto berdiri
pada bulan Rajab 1399 H, bertepatan dengan Juni 1979 M. Tetapi, sebelum
terbentuk Jatman, bibit organisasi tersebut telah lahir, yaitu Jam’iyyah
Thariqah Al-Mu’tabarah.
Kelahiran Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah tidak dapat dilepaskan dari Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-26
di Semarang.
Sebelum terbentuk Jatman, ulama-ulama Indonesia
yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan aktif di dunia tarekat telah
membentuk organisasi tarekat, dengan nama Jam’iyyah Thariqah Al Mutabarah.
Pembentukan organisasi ini sebagai wadah untuk menetapkan
tarekat-tarekat yang mu’tabar dan ghairu mu’tabar, sehingga umat Islam tidak
terjebak dan salah dalam mengamalkan tarekat. Pembentukan
organisasi ini sebagai langkah untuk menghindari gesekan atau perpecahan di
tingkat grass root, akibat sikap fanatik yang berlebih-lebihan terhadap tarekat
yang dianutnya. Hal ini dikarenakan kecenderungan pengikut suatu ajaran
tarekat, dalam melakukan klaim kebenaran ajaran tarekat yang diikutinya.
Jam’iyyah
Thariqah AI Mu’tabarah didirikan oleh beberapa tokoh NU, antara lain :
KH Abdul
Wahab Hasbullah,
KH Bisri
Syansuri,
Dr KH
ldham Chalid,
KH
Masykur serta
KH
Muslih.
Dengan tujuan awal untuk mengusahakan berlakunya syar’iat
Islam dhahir-batin dengan berhaluan ahlussunnah
wal jamaah yang berpegang salah satu dari mazhab empat, mempergiat dan
meningkatkan amal saleh dhahir-batin menurut ajaran ulama saleh denganbaiah
shohihah; serta mengadakan dan menyelenggarakan pengajian khususi/ tawajujuhan (majalasatudzzikri dan nasril ulumunafi’ah).
Jam’iyyah Thariqah Al Mu’tabarah pertama kali
melakukan muktamar pada tanggal 20 Rajab 1377 atau bertepatan dengan 10 Oktober
1957 di Pondok Pesantren API Tegalrejo Magelang. Muktamar pertama diprakarsai
oleh beberapa ulama dari Magelang dan sekitarnya, seperti KH Chudlori, KH
Dalhar, KH Siradj, serta KH Hamid Kajoran. Pada muktamar pertama mengamanatkan
kepada KH Muslih Abdurrahman dari Mranggen, Demak, sebagai rais aam.
Pada muktamar pertama. hal yang pertama
dilakukan adalah memberikan bentuk serta pemahaman tentang thariqah
aI-mu’tabarah. Dalam bahtsul matsail-nya, dibahas tentang definisi tarekat dan
keanggotaan Jam’iyyah Thariqah Al Mu’tabarah, syarat dan kualifikasi seorang
mursyid, khalifah dan badal, serta berbagai persoalan lainnya.
Dalam muktamar ini belum diputuskan tentang
anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART), karena organisasi ini
masih bersifat sebagaihalaqah antara kiai-kiai yang mengamalkan tarekat. Sifat
Jamiyyah Thariqah AI Mu’tabarah, sebagai sebuah
halaqah masih tetap dipertahankan sampai Muktamar ke-5 yang berlangsung
di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 24-27 Rajab 1395 atau bertepatan dengan 2-5
Agustus 1975.
Dengan demikian aliran tarekat berikut ini
adalah beberapa di antara tarekat yang telah jelas sebagai tarekat muktabarah
yang telah lama berkembang di Indonesia.. Selain itu,memperjelas kita betapa
kaya khazanah ke-Islam-an di nusantara ini.
Tareqah Mu’tabarah di Indonesia
Tarekah Mu’tabarah di Indonesia
Dalam
tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan
untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya
kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi
anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk,
aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh
jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah
waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan
ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam
istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Mu’tabaroh. Wa ghoiru
Mu’tabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu
dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi,
semua Thoriqoh yang Mu’tabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung)
sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada
Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Mu’tabaroh. Barometer lain untuk
menentukan ke-mu’tabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syari’at. Dalam
semua Thoriqoh Mu’tabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :
Thoriqoh
Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Thoriqoh
Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh
Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan
dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara,
kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat)
kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah
yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga,
silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat;
silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul
Syifa’ al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk
mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa
organisasi sosial keagamaan Jama’ah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang
dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga
Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya
pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Sementara
Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850.
Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu
masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh
kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama
abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula
belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir
dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas
penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki,
Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad
ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim
dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya
cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi
Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir
sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah,
dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah
adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan
penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam
hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh
ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka
mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di
Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M),
Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan
Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada
zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut
menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh
Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen
yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah
Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang
penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran
dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok
yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Thoriqoh Naqsyabandiyah
ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh
seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak
ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. Khalwat ialah
mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan
zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari
atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh
syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa
suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan
minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan
semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh
syekh atau khalifah..
Thariqat
Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn ‘Aly (al-Husainy al-Badawy). Diantara
nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin,
al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-‘Arab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah,
asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak,
sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir,
Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki
keturunan Rasulullah SallAllahu ‘alaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain.
Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal
masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan
tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia
khususnya di Jawa.
Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh
Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga
muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan
hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan
:”karyaku adalah murid muridku”, Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan
kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal
dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha’illah as-Sukandari adalah
orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi
keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn
Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang
aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, yang
menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini
dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili
kepada murid-muridnya: “Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah,
maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab
Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut
al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut,
al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa
al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya
al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah. Thoriqoh Sadzaliah
berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah
Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH
Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya,
Pekalongan. Simbah
KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah
membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.
Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir
Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul
Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di
Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8
tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini,
dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh
Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria
yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India,
Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru
terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah
Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di
Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua).
Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat
syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti
Thoriqoh gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke
dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir
Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi
mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di
Indonesia juga berasal dari Makkah al-Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar
ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren
Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa
Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.
Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang
bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh
Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah
pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.
Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah
muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen
diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen.
Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan
mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah
Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui
anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu
pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Musta’in
Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya
putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu.
Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil
membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan
murid-muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.
Thoriqoh
Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu,
misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah
(olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan
beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan
mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid.
Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib
Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga
dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh
Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh
Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal dari
Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti
Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan
oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir–lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin
Ahmad al-Muhajir—seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil
Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini.
Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh
Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang
dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang
dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi
penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah
bin Ahmad al-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang
dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum
sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW–yang merupakan lapisan paling atas dalam
strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini
didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di
Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal
ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak
anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim
lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat,
diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah ,
Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang
dilanjutkan oleh anak cucunya.
Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang
pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi
Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya
menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan
khalwat di tempat-tempat sepi. Secara “nasabiyah”, Thoriqoh Khalwatiyah
merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan
cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs
Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang
secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin
Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus,
Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul
Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini
di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah
oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia
juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling
terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Thoriqoh
Syattariyah adalah aliran Thoriqoh yang pertama kali muncul di India pada abad
ke 15. Thoriqoh ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Thoriqoh ini lebih dikenal di
Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah
Turki Usmani, Thoriqoh ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari
nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya Thoriqoh Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai
cabang dari persatuan sufi mana pun. Thoriqoh ini dianggap sebagai suatu
Thoriqoh tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam
keyakinan dan praktik. Perkembangan mistik Thoriqoh ini ditujukan untuk
mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di
dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Thoriqoh
Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk.
Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut Thoriqoh ini adalah jalan yang
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai
pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada
tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta
menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan Thoriqoh ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal,
qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
Thoriqoh
Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani
(1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan
ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan
lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan
berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti
untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain
Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal
al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya
yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada
usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa
tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia
meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di
Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras
dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut
Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan
secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan
Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih
dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya
dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang,
utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang
brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad
Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya,
dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura
dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya.
Penentangan
terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah
menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena
amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan
itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah
Thoriqoh ini.
Thoriqah
Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin
Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan
panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari
keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus,
lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan
ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang
akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan
bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di Indonesia,
Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke
Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena
popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca
berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya
ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia
adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan
Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib
Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir (team Al Mihrab )
Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh
Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar