Sabtu, 28 Maret 2015

THAHARAH (BERSUCI)



A.  Definisi Thaharah

1.      Pengertian Thaharah
Taharah menurut bahasa, artinya bersih atau bersuci, sedangkan menurut istilah, taharah adalah menyucikan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis dengan cara yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar selalu dalam keadaan bersih dan suci. Orang-orang yang sanggup menjaga kesuciannya sangat dicintai Allah.

فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
"Di sana ada orang-oran yang suka berthaharah (bersuci). Dan Allah menyukai orang-orang senantiasa yang bersuci." (QS. At-Taubah: 108).

2.      Macam-Macam Taharah
Taharah dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Taharah dari najis, yang berlaku untuk badan, pakaian, dan tempat. Cara menyucikannya dengan air yang suci dan menyucikan, yang biasa disebut air mutlak.
b.      Taharah dari hadas, yang berlaku untuk badan, seperti mandi, wudu, dan tayamum.

3.      Sarana Melakukan Thaharah
Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
(Surah Al-Nisa’, 4:43)

4.      Macam-macam air

Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh,  mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu :
1.      air mutlaq
2.      air musta’mal
3.      air yang tercampur benda yang suci
4.      air yang tercampur dengan benda yang najis.
Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas :
1.    Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.
Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk  digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاهر لنفسه مطهر لغيره  thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air lainnya.
Namun belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci hukumnya. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :
a.    Air Hujan
Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.
Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah, sebab kerusakan pada air hujan diakibatkan oleh polusi dan pencemaran ulah tangan manusia dan zat-zat yang mencemarinya itu bukan termasuk najis.
Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau najis.
Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.
Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri, kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun, terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.
Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum air, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah, tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.
Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat. Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman :
إِذْ يُغَشِّيكُمُالنُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءًلِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىقُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS. Al-Anfal : 11)
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَالرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءًطَهُورًا
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqan : 48)

b.      Salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju yang intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai salju.
Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci, baik wudhu`, mandi atau lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَاكَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَاطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ مِنَ الدَّنَسِ ،اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطاَيَا بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau menjawab,"Aku membaca,"Ya Allah, Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud 781 dan Nasai 60)
c.       Embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan kedaunan pada pagi hari.
Maka tetes embun yang ada pada dedaunan atau pada barang yang suci, bisa digunakan untuk mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan najis.
Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah ra.
d.      Air Laut
Air laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’). Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, air embun atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan. Sebelumnya para shahabat Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air laut itu, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu`. Lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُقَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ s فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَرْكَبُ البَحْرَوَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ  فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا  أَفَنَتَوَضَّأُ  بمِاَءِ البَحْرِ ؟ فَقَالَرَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ  الحِلُّ مَيْتَتُهُ  رواه الخمسة .
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati menjadi bangkai, bangkainya tetap suci.
e.       Air Zam-zam/ Mata Air
Air Zam-zam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu.
Bolehnya air zam-zam untuk digunakan bersuci atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah SAW dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
ثُمَّ أَفَاضَرَسُولُ اللَّهِ s فَدَعَا بِسِجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu`. (HR. Ahmad).
Selain boleh digunakan untuk bersuci, disunnahkan buat kita untuk minum air zam-zam, lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.
Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis, menjadi 3 pendapat :
Pendapat Pertama
Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia, sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.
Pendapat Kedua
Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu, mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zam-zam.
Pendapat Ketiga
Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan najis.  
Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu :
لاَ أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ لِشَارِبٍ أَوْ لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu'
f.       Air Sumur atau Mata Air
Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis.
Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumurBudha`ah yang terletak di kota Madinah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍالْخُدْرِيِّ قَالَ  : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِبُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلابِ وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ s : الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُشَيْءٌ  . رَوَاهُ أَحْمَدَ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)
g.      Air Sungai
Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci, karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.
Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi, terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.
Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa, warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai, jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`, mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa, aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.
Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut, sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.

2.      Air Musta’mal
Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (استعمل - يستعمل) yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air musta’mal berbeda dengan air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.
Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal, karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta'mal ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?
Dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat, apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk berwudhu’ dan mandi janabah?
Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan nash dari Rasulullah SAW yang kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash hadits itu antara lain :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ض قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ   أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)
وَلِلْبُخَارِيِّ: لا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ  وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ   .
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat Muslim,”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)
وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ اَلنَّبِيَّ ص قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ s أن تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ اَلرَّجُلِ أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا- َخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ
Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang seorang wanita mandi janabah dengan air bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ s كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا   أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR. Muslim)
وَلأَصْحَابِ اَلسُّنَنِ"اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ s فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ اَلْمَاءَ لاَ يُجْنِبُ
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi mandi janabat, maka jawab Nabi SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”. 
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat variasi perbedaan.
Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta'mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta'mal :
a. Ulama Al-Hanafiyah 
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
b. Ulama Al-Malikiyah 
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan (ghairumusta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta'mal.
Bila volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta'mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai airmusta'mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air dua qullah, yang menjadi batas volume air sedikit.
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, kubik atau barrel.
Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithlbuat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.
Lucunya, begitu orang-orang di Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume 1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta’mal.
Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta’mal.

Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya.
Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Demikian juga dengan air yang dicampur dengan kaldu daging, irisan daging dan bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar dari karakter kemutalakannya. Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai air, melainkan kita sebut 'kuah bakso'. Tentu saja kita tidak dibenarkan berwudhu dengan kuah bakso.
Hal yang sama terjadi pada kasus air yang dicampur dengan benda lain, seperti teh tubruk, kopi, wedhang ronde, santan kelapa, kuah gado-gado, kuah semur dan opor dan seterusnya, meski semua mengandung air dan tercampur dengan benda suci, namun air itu mengalami perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya. Sehingga air itu meski masih suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)

4.      Air Mutanajjis
Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis.
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga  sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Tapi dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis. apalagi kalau airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekat-dekat sumber najis yang mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentanga`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ قَالَ :  قَامَأَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ  فَقَالَ النَّبِيُّ s دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ , فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلمَ ْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ - رواه الجماعة إلا مسلما
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)

B.  Najis dan Tata cara Thaharahnya

1.      Pengertian Najis
Menurut bahasa, najis artinya kotor. Menurut istilah, najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor menurut syara’ (Hukum Islam). Suatu benda atau barang yang terkena najis disebut mutanajjis. Benda mutanajjis dapat disucikan kembali, misalnya pakaian yang kena air kencing dapat dibersihkan dengan cara menyucinya. Berbeda dengan benda najis, seperti bangkai, kotoran manusia dan hewan tidak dapat disucikan lagi, sebab ia tetap najis.
Kotoran adalah segala sesuatu yang kotor atau tidak bersih. Tidak semua yang kotor selalu dikatakan najis, misalnya daki di badan, ketombe di kepala, noda air kopi atau sirop, dan sebagainya.
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu atau tayamum dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci.

2.      Pembagian Najis dan Macam-Macam Najis berdasarkan Pembagiannya
Dalam ilmu fikih, najis dibagi menjadi empat, yaitu:
a.       Najis berat atau najis mughallazhah, yaitu najis yang harus dicuci sampai tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya menggunakan debu yang suci atau air yang dicampur dengan tanah. Contohnya air liur anjing.
b.      Najis sedang atau najis mutawassithah, yaitu najis yang dicuci dengan cara menggunakan air mutlak sampai hilang bau dan warnanya.
Najis mutawassithah dibagi menjadi:
1)      Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih terlihat zatnya, warnanya, rasanya, maupun baunya. Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat, warna, rasa dan baunya.
2)      Najis hukmiyah, yaitu najis yang kita yakini adanya tetapi tidak nyata zatnya, baunya, rasanya, dan warnanya, seperti air kencing yang sudah mengering.
c.       Najis ringan atau najis mukhaffafah, yaitu najis yang dapat disucikan dengan memercikkan atau menyiram air di tempat yang terkena najis. Contohnya: air kencing bayi yang belum makan apa-apa kecuali air susu ibu.
Najis yang dimaafkan atau najis ma‘fu, yaitu najis yang dapat disucikan cukup dengan air, jika najisnya kelihatan. Apabila tidak kelihatan tidak dicuci juga tidak apa-apa, karena termasuk najis yang telah dimaafkan. Misalnya najis bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air di lorong-lorong yang memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.

3.      Tatacara menyucikan Najis
Ada bebrapa cara yang perlu diperhatikan dalam hal bersuci dari najis, yaitu sebagai berikut:
a.       Barang yang kena najis mughalazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah.
b.      Barang yang terkena najis mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat najis tersebut.
c.       Barang yang terkena najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, baud an rasa) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali cucian atau siraman lebih baik.
Jika najis hukmiah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.

C.    Hadas Kecil dan Tatacara Thaharahnya
1.      Pengertian hadas
Secara bahasa, hadas berarti kejadian atau peristiwa. Sedangkan menurut istilah sayr‘ihadas berarti kejadian-kejadian tertentu pada diri seseorang yang menghalangi sahnya ibadah yang dilakukannya. Orang yang berhadas dan mengerjakan salat, maka salatnya tidak sah.
Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: “Allah tidak akan menerima salat seseorang dari kamu jika berhadas, sehingga berwudu.” (HR. al Bukhari dan Muslim).

2.      Macam-macam Hadas
Hadas dibagi menjadi dua yaitu hadas kecil dan hadas besar.
a.       Hadas kecil: hadas yang cara menghilangkannya dengan bewudu atau tayamum.
b.      Hadas besar: hadas yang cara menghilangkannya dengan mandi wajib atau janabah.

3.      Hal-hal yang termasuk hadas kecil
Hal-hal yang termasuk hadas kecil antara lain:
a.       Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur, meskipun hanya angin,
b.      Bersentuhan langsung antara kulit laki-laki dengan perempuan yang sudah balig dan bukan muhrimnya,
c.       Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan,
d.      Tidur dalam keadaan tidak tetap, dan
e.       hilang akalnya, seperti mabuk, gila, atau pingsan walaupun hanya sesaat.

D.    Hadas Besar dan Tatacara Thaharahnya

1.      Hal-hal yang termasuk hadas besar antara lain:
a.    Bertemunya alat kelamin laki-laki dan wanita, baik keluar mani maupun tidak, 
b.    Keluarnya darah haid, nifas, wiladah dan istihadah.
c.    Keluar air mani, baik ada sebabnya maupun tidak seperti mimpi, dan
d.   orang yang mati.



DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i, Moh. 2008. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.
Ritonga, A. Rahman dkk. 1997. Fiqh Ibadah. Jakarta : Gaya Media Pratama.

Di akses dari internet yaitu :
http://siyasahhjinnazah.blogspot.com/2013/05/makalah-fiqh-ibadah-thaharah.html