A. Definisi Thaharah
1.
Pengertian Thaharah
Taharah menurut bahasa,
artinya bersih atau bersuci, sedangkan menurut istilah, taharah adalah menyucikan badan,
pakaian, dan tempat dari hadas dan najis dengan cara yang telah ditetapkan oleh
syariat Islam. Islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar selalu dalam
keadaan bersih dan suci. Orang-orang yang sanggup menjaga kesuciannya sangat
dicintai Allah.
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُطَّهِّرِينَ
"Di
sana ada orang-oran yang suka berthaharah (bersuci). Dan Allah menyukai
orang-orang senantiasa yang bersuci." (QS. At-Taubah: 108).
2.
Macam-Macam Taharah
Taharah dibagi menjadi
dua, yaitu:
a.
Taharah dari najis, yang berlaku untuk badan,
pakaian, dan tempat. Cara menyucikannya dengan air yang suci
dan menyucikan, yang biasa disebut air mutlak.
b.
Taharah dari hadas, yang berlaku untuk badan,
seperti mandi, wudu, dan tayamum.
3. Sarana Melakukan Thaharah
Firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
(Surah Al-Nisa’, 4:43)
(Surah Al-Nisa’, 4:43)
4.
Macam-macam
air
Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan,
terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita
dapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu
:
1. air mutlaq
2. air musta’mal
3. air yang tercampur
benda yang suci
4. air yang tercampur
dengan benda yang najis.
Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas :
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum
mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk
bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.
Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah
untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah.
Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاهر لنفسه مطهر لغيره thahirun li nafsihi
muthahhirun li ghairihi.
Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak
semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air
yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air teh, air kelapa atau air-air
lainnya.
Namun belum tentu boleh digunakan untuk
mensucikan seperti untuk berwudhu` atau mandi. Maka ada air yang suci tapi
tidak mensucikan namun setiap air yang mensucikan, pastilah air yang suci
hukumnya. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini
antara lain adalah :
a.
Air Hujan
Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan.
Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk
berwudhu, mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.
Meski pun di zaman sekarang ini air hujan
sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak
berubah, sebab kerusakan pada air hujan diakibatkan oleh polusi dan pencemaran
ulah tangan manusia dan zat-zat yang mencemarinya itu bukan termasuk najis.
Ketika air dari bumi menguap naik ke langit,
maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun
sumbernya dari air yang tercemar, kotor atau najis.
Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke
atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat
lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air
yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci
kembali lewat proses itu.
Hanya saja udara kota yang tercemar dengan
asap industri, kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita.
Ketika tetes air hujan itu turun, terlarut kembalilah semua kandungan polusi
itu di angkasa.
Namun meski demikian, dilihat dari sisi
syariah dan hukum air, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi
yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski
bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis
sesuai kaidah syariah, tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah
membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.
Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada
wilayah tertentu saja seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di
banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih
sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat. Tentang sucinya air
hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah SWT telah berfirman :
إِذْ
يُغَشِّيكُمُالنُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءًلِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ
عَلَىقُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأَقْدَامَ
Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh
dengannya telapak kaki. (QS. Al-Anfal : 11)
وَهُوَ الَّذِي
أَرْسَلَالرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ
السَّمَاءِ مَاءًطَهُورًا
Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum
kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.
(QS. Al-Furqan : 48)
b.
Salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan,
yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang
membuatnya menjadi butir-butir salju yang intinya adalah air juga namun membeku
dan jatuh sebagai salju.
Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air
hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya
saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju
yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci, baik wudhu`, mandi atau
lainnya.
Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar
tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan
tentang kedudukan salju, kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media
mensucian. Di dalam doa iftitah setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan
bahwa kita meminta kepada Allah SWT agar disucikan dari dosa dengan air, salju
dan embun.
اللَّهُمَّ بَاعِدْ
بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَاكَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ ،
اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَاطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ مِنَ الدَّنَسِ
،اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطاَيَا بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika
ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan al-fatihah, beliau
menjawab,"Aku membaca,"Ya Allah, Jauhkan aku
dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara Timur dan Barat.
Ya Allah, sucikan aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana pakaian
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan salju, air dan embun". (HR. Bukhari 744, Muslim 597, Abu Daud
781 dan Nasai 60)
c.
Embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari
langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan
tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan kedaunan pada pagi hari.
Maka tetes embun yang ada pada dedaunan atau
pada barang yang suci, bisa digunakan untuk mensucikan, baik untuk berwudhu,
mandi, atau menghilangkan najis.
Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits
tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah ra.
d.
Air Laut
Air laut adalah air yang suci dan juga
mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu, mandi janabah ataupun
untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’). Termasuk juga
untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
Meski pun rasa air laut itu asin karena
kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, air embun
atau pun salju. Bisa digunakan untuk mensucikan. Sebelumnya para shahabat
Rasulullah SAW tidak mengetahui hukum air laut itu, sehingga ketika ada dari
mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup
untuk keperluan minum, mereka berijtihad untuk berwudhu` menggunakan air laut.
Sesampainya kembali ke daratan, mereka
langsung bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum menggunakan air laut
sebagai media untuk berwudhu`. Lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa air laut itu
suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُقَالَ : سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ s فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا
نَرْكَبُ البَحْرَوَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ مِنَ المَاءِ فَإِنْ
تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بمِاَءِ
البَحْرِ ؟ فَقَالَرَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هُوَ الطَّهُوْرُ
مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ رواه الخمسة .
Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada
Rasulullah SAW,`Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit
air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan. Bolehkah kami
berwudhu dengan air laut ?`. Rasulullah SAW menjawab,`(Laut) itu suci airnya
dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu Majah 386, An-Nasai
59, Malik 1/22).
Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa
hewan laut juga halal dimakan, dan kalau mati menjadi bangkai, bangkainya tetap
suci.
e. Air Zam-zam/
Mata Air
Air Zam-zam adalah air yang bersumber dari
mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di
samping ka`bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah, sejak
zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali
menjejakkan kaki di wilayah itu.
Bolehnya air zam-zam untuk digunakan bersuci
atau berwudhu, ada sebuah hadits Rasulullah SAW dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu.
ثُمَّ أَفَاضَرَسُولُ
اللَّهِ s فَدَعَا
بِسِجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأ
Dari Ali bin Abi thalib ra bahwa Rasulullah SAW meminta seember
penuh air zam-zam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu`.
(HR. Ahmad).
Selain boleh digunakan untuk bersuci,
disunnahkan buat kita untuk minum air zam-zam, lantaran air itu memiliki
kemulian tersendiri di sisi Allah.
Namun para ulama sedikit berbeda pendapat
tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis, menjadi 3 pendapat
:
Pendapat Pertama
Mazhab Al-Hanafiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan
untuk mengangkat hadats, yaitu berwudhu atau mandi janabah. Namun kurang
disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu
mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia, sehingga mereka cenderung
kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.
Pendapat Kedua
Mazhab Al-Malikiyah secara resmi tidak membedakan
antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk
membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah. Dalam
pandangan mereka, air zamzam boleh digunakan untuk bersuci, baik untuk wudhu,
mandi, istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada
badan, pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air
zam-zam.
Pendapat Ketiga
Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat
disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang
disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci, baik untuk mengangkat
hadats (wudhu atau mandi janabah), apalagi untuk membersihkan
najis.
Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari
shahabat Nabi SAW yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu :
لاَ أُحِلُّهَا لِمُغْتَسِلٍ
يَغْتَسِلُ فيِ المَسْجِدِ وَهِيَ لِشَارِبٍ أَوْ لمِتَُوَضِّىء حَلَّ وَ بَلَّ
Aku tidak menghalalkannya buat orang yang
mandi (janabah) di masjid, namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat
orang yang wudhu'
f. Air Sumur atau Mata
Air
Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah
air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah
melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu, mandi atau
mensucikan diri, pakaian dan barang dari najis.
Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air
adalah hadits tentang sumurBudha`ah yang terletak di kota Madinah.
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍالْخُدْرِيِّ قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَتَوَضَّأُ
مِنْ بِئْرِبُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيهَا الْحِيَضُ وَلُحُومُ الْكِلابِ
وَالنَّتْنُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ s : الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ
يُنَجِّسُهُشَيْءٌ . رَوَاهُ أَحْمَدَ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya
Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah?, padahal sumur itu
yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan
benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan
oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87,
Al-Imam Asy-Syafi`i 35)
g. Air Sungai
Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci,
karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahuu
umat Islam terbiasa mandi, wudhu` atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan
air sungai.
Namun
seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi,
terutama di kota-kota besar, air sungai itu tercemar berat dengan limbah
beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis, namun air
yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.
Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain
itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak, limbah WC atau
bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air
sungai berubah warna, bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis
meski jumlahnya banyak.
Sebab meskipun jumlahnya banyak, tetapi
seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa,
warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai,
jelaslah air itu menjadi najis. Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu`,
mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa,
aroma dan warnanya berubah seperti bau najis.
Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air
laut, sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun
sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang
jorok.
Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air
yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes dari sisa bekas
wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas
dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama
seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala -
yasta'milu (استعمل - يستعمل)
yang bermakna menggunakan. Maka air musta'mal maksudnya adalah air yang sudah
digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi janabah.
Air musta’mal berbeda dengan
air bekas mencuci tangan, atau membasuh muka atau bekas digunakan untuk
keperluan lain, selain untuk wudhu’ atau mandi janabah.
Air sisa bekas cuci tangan, cuci muka, cuci
kaki atau sisa mandi biasa yang bukan mandi janabah, statusnya tetap air mutlak
yang bersifat suci dan mensucikan. Air itu tidak disebut sebagai air musta’mal,
karena bukan digunakan untuk wudhu atau mandi janabah.
Lalu bagaimana hukum menggunakan air musta'mal
ini? Masih bolehkah sisa air yang sudah digunakan utuk berwudhu atau mandi
janabah digunakan lagi untuk wudhu atau mandi janabah?
Dalam hal ini memang para ulama berbeda
pendapat, apakah air musta’mal itu boleh digunakan lagi untuk
berwudhu’ dan mandi janabah?
Perbedaan pendapat itu dipicu dari perbedaan
nash dari Rasulullah SAW yang kita terima dari Rasulullah SAW. Beberapa nash
hadits itu antara lain :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ض قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s لا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Janganlah sekali-kali seorang kamu mandi di air yang
diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim)
وَلِلْبُخَارِيِّ: لا يَبُولَنَّ
أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ
فِيهِ وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ".وَلأَبِي دَاوُدَ: وَلاَ
يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ .
”Janganlah sekali-kali seorang kamu kencing
di air yang diam tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalam air itu”. Riwayat
Muslim,”Mandi dari air itu”. Dalam riwayat Abu Daud,”Janganlah mandi
janabah di dalam air itu. (HR. Muslim)
وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ
اَلنَّبِيَّ ص قَالَ: نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ s أن تَغْتَسِلَ اَلْمَرْأَةُ بِفَضْلِ
اَلرَّجُلِ أَوْ اَلرَّجُلُ بِفَضْلِ اَلْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا-
َخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ. وَالنَّسَائِيُّ
Dari seseorang yang menjadi shahabat nabi
SAW berkata,”Rasululllah SAW melarang seorang wanita mandi janabah dengan air
bekar mandi janabah laki-laki. Dan melarang laki-laki mandi janabah dengan air
bekas mandi janabah perempuan. Hendaklah mereka masing-masing menciduk air. (HR.
Abu Daud dan An-Nasa’i)
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ s كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi SAW pernah
mandi dengan air bekas Maimunah ra. (HR. Muslim)
وَلأَصْحَابِ
اَلسُّنَنِ"اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ s فِي جَفْنَةٍ, فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ
مِنْهَا, فَقَالَتْ لَهُ: إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: إِنَّ اَلْمَاءَ لاَ
يُجْنِبُ
Riwayat Ashhabussunan: ”Bahwasanya salah
satu isteri Nabi telah mandi dalam satu ember kemudian datang Nabi dan mandi
dari padanya lalu berkata isterinya, ”saya tadi mandi janabat, maka jawab Nabi
SAW.: ”Sesungguhnya air tidak ikut berjanabat”.
Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata
pengertian musta’mal di antara fuqaha’ mazhab masih terdapat
variasi perbedaan.
Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan
kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta'mal,
atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta'mal :
a. Ulama
Al-Hanafiyah
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah
air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air
itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh
sebagai sisa wudhu` atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan
untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk
qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah.
Sedangkan air yang di dalam wadah tidak
menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi
tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa
digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
b. Ulama
Al-Malikiyah
Air musta’mal dalam
pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau
mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga
yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun
mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas
wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan
adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan
mensucikan.
Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi
untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski
dengan karahah (kurang disukai).
c. Ulama
Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam
pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat
hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila
jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk
untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya
yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal.
Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik
mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang
sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau
sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab
ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk
mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam
pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats
kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada
pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak
mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun
termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci
atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan
air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian
ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan
ritual ibadah wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk
berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta’mal. Hukum musta’mal baru jatuh bila seseorang
sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu`
atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` atau
mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta’mal.
Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada
sedikit tetesan air musta’mal yang jatuh ke dalam air yang
jumlahnya kurang dari 2 c, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi
`tertular` ke-musta’mal-annya.
Batasan Volume 2 Qullah
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan
bukan (ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume
air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air
menjadi musta'mal.
Bila volume air itu telah melebihi volume
minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta'mal. Itu
berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau
mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai airmusta'mal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ
بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ s إِذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ- وَفِي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ-أَخْرَجَهُ اَلأَرْبَعَةُ
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW telah
bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak
mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (HR Abu Dawud,
Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)
Hadits inilah yang mendasari keberadaan volume air
dua qullah, yang menjadi batas volume air sedikit.
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran
volume air yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi
istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat
telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini.
Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, kubik atau barrel.
Sedangkan istilah qullah adalah
ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2 abad
sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi
menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang
sering diterjemahkan dengan istilah kati.
Sayangnya, ukuran rithl ini
pun tidak standar di beberapa negeri Islam. 1 rithlbuat orang
Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran 1 rithl buat orang
Mesir. Walhasil, ukuran ini agak menyulitkan juga sebenarnya.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa
ukuran volume 2 qullah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi
kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir
mengukur 2 qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata
jumlahnya hanya 446 3/7 rithl.
Lucunya, begitu orang-orang di Syam
mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl juga, jumlahnya hanya
81 rithl. Namun demikian,
mereka semua sepakat volume 2 qullah itu sama, yang menyebabkan
berbeda karena volume 1 rithl Baghdad berbeda dengan volume
1 rithl Mesir dan volume 1 rithl Syam.
Lalu sebenarnya berapa
ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar
besaran international dimasa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba
mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini
kira-kira sejumlah 270 liter.
Jadi bila air dalam suatu wadah
jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah
atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu
dianggap sudah musta’mal.
Air itu suci secara pisik, tapi tidak bisa
digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi). Tapi bila bukan digunakan untuk
wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta’mal.
Jenis air yang ketiga adalah air yang
tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap
suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya.
Selama nama air itu masih melekat padanya.
Namun bila air telah keluar dari karakternya
sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan.
Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci,
tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni
menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air
mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau
mandi janabah. Meski pun masih tetap suci.
Demikian juga dengan air yang dicampur dengan
kaldu daging, irisan daging dan bumbu-bumbu. Air itu kita anggap sudah keluar
dari karakter kemutalakannya. Bahkan kita sudah tidak lagi menyebutnya sebagai
air, melainkan kita sebut 'kuah bakso'. Tentu saja kita tidak dibenarkan
berwudhu dengan kuah bakso.
Hal yang sama terjadi pada kasus air yang
dicampur dengan benda lain, seperti teh tubruk, kopi, wedhang ronde, santan
kelapa, kuah gado-gado, kuah semur dan opor dan seterusnya, meski semua
mengandung air dan tercampur dengan benda suci, namun air itu mengalami
perubahan karakter dan kehilangan kemutlakannya. Sehingga air itu meski masih
suci tapi tidak sah untuk dijadikan media bersuci.
Tentang kapur barus, ada hadits yang
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat
dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW
bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu
dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR.
Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu
Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air
yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk
yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung,
ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra
dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai
240, Ibnu Khuzaimah 240)
Air mutanajjis artinya adalah air yang
tercampur dengan barang atau benda yang najis.
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua
kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa
juga sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung
dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda
yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah
air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar
mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan
mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi
najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang
besar dan jumlah volume air yang kecil.
Tapi dalam kasus bangkai anjing itu dibuang ke dalam danau yang
luas, tentu tidak semua air di danau itu menjadi berubah najis. apalagi kalau
airnya adalah air di lautan. Di laut sudah tidak terhitung jumlah najis, tetapi
semua najis itu dibandingkan dengan jumlah volume air laut, tentu bisa
diabaikan. Kecuali air laut yang berada di dekat-dekat sumber najis yang
mengalami perubahan akibat tercemar najis, maka hukumnya juga ikut najis.
Indikator Kenajisan
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan
benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat
indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.
a. Berubah Rasa, Warna
atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air
terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga.
Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Tidak Berubah Rasa,
Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka
hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak.
Dalilnya adalah hadits tentanga`rabi (arab kampung) yang kencing di
dalam masjid :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ
قَالَ : قَامَأَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ
لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ s دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ
سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ , فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ
مُيَسِّرِينَ وَلمَ ْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ - رواه الجماعة إلا مسلما
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan
kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW
bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember
air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk
menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah
529).
Dari
Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah
kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW
menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66,
At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35)
B. Najis
dan Tata cara Thaharahnya
1. Pengertian Najis
Menurut bahasa, najis artinya kotor. Menurut istilah, najis adalah
segala sesuatu yang dianggap kotor menurut syara’ (Hukum Islam). Suatu benda
atau barang yang terkena najis disebut mutanajjis. Benda mutanajjis dapat
disucikan kembali, misalnya pakaian yang kena air kencing dapat dibersihkan
dengan cara menyucinya. Berbeda dengan benda najis, seperti bangkai, kotoran
manusia dan hewan tidak dapat disucikan lagi, sebab ia tetap najis.
Kotoran adalah segala sesuatu yang kotor atau tidak bersih. Tidak
semua yang kotor selalu dikatakan najis, misalnya daki di badan, ketombe di
kepala, noda air kopi atau sirop, dan sebagainya.
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan
pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada
badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan
keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri
(jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan
hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti
terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu atau tayamum dan hadats
besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah
membuat benda tersebut suci.
2. Pembagian Najis dan
Macam-Macam Najis berdasarkan Pembagiannya
Dalam ilmu fikih, najis
dibagi menjadi empat, yaitu:
a.
Najis berat atau najis mughallazhah, yaitu najis yang harus
dicuci sampai tujuh kali dengan air mutlak dan salah satunya menggunakan debu
yang suci atau air yang dicampur dengan tanah. Contohnya air liur anjing.
b.
Najis sedang atau najis mutawassithah, yaitu najis yang
dicuci dengan cara menggunakan air mutlak sampai hilang bau dan warnanya.
Najis mutawassithah
dibagi menjadi:
1)
Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih
terlihat zatnya, warnanya, rasanya, maupun baunya. Cara menyucikannya dengan
menghilangkan zat, warna, rasa dan baunya.
2)
Najis hukmiyah,
yaitu najis yang kita yakini adanya tetapi tidak nyata zatnya, baunya, rasanya,
dan warnanya, seperti air kencing yang sudah mengering.
c.
Najis ringan atau najis mukhaffafah,
yaitu najis yang dapat disucikan dengan memercikkan atau menyiram air di tempat
yang terkena najis. Contohnya: air kencing bayi yang belum makan
apa-apa kecuali air susu ibu.
Najis yang dimaafkan atau najis ma‘fu, yaitu najis
yang dapat disucikan cukup dengan air, jika najisnya
kelihatan. Apabila tidak kelihatan tidak dicuci juga tidak apa-apa, karena termasuk
najis yang telah dimaafkan. Misalnya najis bangkai hewan yang tidak mengalir
darahnya, darah atau nanah yang sedikit, debu dan air di lorong-lorong yang
memercik sedikit yang sukar menghindarkannya.
3. Tatacara menyucikan
Najis
Ada bebrapa cara yang perlu diperhatikan dalam hal bersuci dari
najis, yaitu sebagai berikut:
a.
Barang yang kena najis mughalazhah seperti
jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya
dengan air yang bercampur tanah.
b.
Barang yang terkena najis mukhaffafah, cukup
diperciki air pada tempat najis tersebut.
c.
Barang yang terkena najis mutawassithah dapat
disucikan dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat najisnya (warna, baud an
rasa) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali cucian atau siraman lebih baik.
Jika najis hukmiah cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan
air saja pada najis tadi.
C.
Hadas Kecil dan Tatacara Thaharahnya
1.
Pengertian hadas
Secara bahasa, hadas berarti kejadian atau
peristiwa. Sedangkan menurut istilah sayr‘ihadas berarti
kejadian-kejadian tertentu pada diri seseorang yang menghalangi sahnya ibadah
yang dilakukannya. Orang yang berhadas dan mengerjakan salat, maka salatnya
tidak sah.
Rasulullah saw. Bersabda
yang artinya: “Allah tidak akan menerima salat seseorang dari
kamu jika berhadas, sehingga berwudu.” (HR. al
Bukhari dan Muslim).
2.
Macam-macam Hadas
Hadas dibagi menjadi dua yaitu hadas kecil dan hadas besar.
a.
Hadas kecil: hadas yang cara menghilangkannya
dengan bewudu atau tayamum.
b.
Hadas besar: hadas yang cara menghilangkannya
dengan mandi wajib atau janabah.
3.
Hal-hal yang termasuk hadas kecil
Hal-hal yang termasuk
hadas kecil antara lain:
a.
Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur,
meskipun hanya angin,
b.
Bersentuhan langsung antara kulit laki-laki
dengan perempuan yang sudah balig dan bukan muhrimnya,
c.
Menyentuh kemaluan dengan telapak
tangan,
d.
Tidur dalam keadaan tidak
tetap, dan
e.
hilang akalnya, seperti mabuk, gila, atau
pingsan walaupun hanya sesaat.
D. Hadas Besar dan Tatacara
Thaharahnya
1.
Hal-hal yang termasuk hadas besar antara lain:
a. Bertemunya alat kelamin
laki-laki dan wanita, baik keluar mani maupun tidak,
b. Keluarnya darah haid, nifas,
wiladah dan istihadah.
c. Keluar air mani, baik ada
sebabnya maupun tidak seperti mimpi, dan
d. orang yang mati.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. 2008. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap.
Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang.
Ritonga, A. Rahman dkk. 1997. Fiqh Ibadah. Jakarta
: Gaya Media Pratama.
Di akses dari internet yaitu :
http://siyasahhjinnazah.blogspot.com/2013/05/makalah-fiqh-ibadah-thaharah.html