Jumat, 20 November 2015

Akhwal Dalam Akhlak Tassawuf



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tinjauan analitis terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah
Tingkat ma’rifat yang  pada umumnya banyak dikejar oleh para sufi diwujudkan melalui Kerangka sikap dan perilaku sufi yang diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan pengenalan (ma’rifat). Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka irfani.
Lingkup Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud salah satunya adalah ahwal (jama’ dari hal) persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.

B.    Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan akhwal ?
2.   Akhwal apa saja yang dijumpai dalam perjalanan sufi ?

C. Tujuan Masalah
1. Definisi dari akhwal.
2. Akhwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi.




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Akhwal
Secara bahasa, akhwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani).
Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci., hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan.

B.       Ahkwal Yang dijumpai dalam Perjalanan Para Sufi

1.      Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu , ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya.



2.      Khauf
Khauf dalam pandangan sufi adalah sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut  Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1. Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2.  Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangnya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon"..

3.      Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an  yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
1.       Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2.      Takut bila harapannya hilang.
3.       Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.

4.      Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan.
1.        Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa.
2.        Ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa.
3.        Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
5.    Syauq
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.
Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir  setelah melihat  dan bertemu.

6.      Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi.
Ø  Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa.
Ø  Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah.
Ø  Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
Sikap suka cita  ini banyak dialami oleh kaum sufi.


7.      Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
                                                                                                                            




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam  ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih


B.     Saran
     Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya akhwal, hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Asmaran, As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Syukur, Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011
Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003
Fauzan,”Maqamat dan Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html diakses tgl 03/10/2014
http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html di akses tgl 03/10/2014
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar